Siapa
“Dayak Kenyah?”
Bagi
kebanyak orang khususnya yang tinggal di Kalimantan Timur, kata atau Suku Dayak
mungkin sudah cukup dikenal. Namun tidak banyak yang mengetahui bahwa
suku Dayak terdiri dari lebih 18 kelompok etnis, yang bahkan memiliki bahasa
yang sangat berbeda. Salah satu dari 18 kelompok etnis tersebut adalah
Dayak Kenyah
Berbeda
halnya dengan kata ‘dayak’, arti dan asal-usul kata “kenyah” sampai sekarang
belum diketahui dengan pasti maknanya, sejak kapan digunakan dan berasal dari
kata dasar apa. Istilah ‘kenyah’ adalah sebuah istilah yang sulit dijelaskan
karena kurangnya referensi tentang kata tersebut. Bahkan dalam bahasa
Kenyah sekalipun kata ‘kenyah’ tidak ditemukan atau tidak memiliki makna
tertentu. Beberapa narasumber yang diwawancarai juga belum dapat memberikan
penjelasan mengenai asal-usul dan makna kata ‘kenyah’. Okushima (2008)
hanya menjelaskan bahwa kata “kenyah” mungkin berasal dari kata “ken’eah”, yang
intinya adalah ‘Kenyah’ not only for the so-called Kenyah, but also for
Kayanized subgroups, meaning ‘not pure Kayanic,’ or ‘not original Ga’ay yang
berarti bahwa Kenyah tidak hanya dipakai untuk nama suku Kenyah saja, tetapi
juga untuk menamakan sub-Kayan lainnya yang “tidak murni Kayan atau bukan
berasal dari Ga’ay”.
Karena
belum ada makna harafiah dari kata ‘kenyah’, beberapa peneliti mencoba
mendeskripsikan kata ‘kenyah’ dari cara hidup dan ciri-ciri umum kelompok suku
ini. Seorang peneliti Jepang, Inoue (2000) dan Italia Soriente (2003)
mendeskripsikan ‘kenyah’ sebagai sekelompok orang yang hidup di pedalaman
Borneo atau Apau Kayan dan Sarawak. Kenyah mencakup berbagai sub-suku yang
secara etnik, kultural, maupun asal-muasal berbeda. Kata ‘Kenyah’ tidak
dapat dijelaskan dengan satu rumusan saja, harus meliputi berbagai ciri yang
ditemukan pada kelompok tersebut. Selanjutnya Cleary dan Eaton (1993)
mendeskripsikan suku Kenyah berpenampilan energik, bergerak cepat, tubuhnya
berotot tapi ramping, kulit bersih dan bebas dari penyakit kulit. Sedangkan
‘Apau Kayan’ adalah dataran tinggi di hulu S. Kayan yang meliputi areal seluas
10.000 km2. Saat ini Apau Kayan meliputi 6 kecamatan yaitu Kecamatan
Kayan Hulu, Kayan Hilir, Kayan Selatan, S. Boh, Bahau Hulu, Mentarang
Hulu dan sebagian Sarawak (Malaysia).
Dari
aspek linguistik atau bahasa yang digunakan, suku Dayak dibagi ke dalam 5 grup,
salah satunya adalah ‘Kayan-Kenyah’, termasuk suku ‘Kenyah’. Suku Bahau,
Modang, Aoheng juga termasuk dalam klasifikasi tersebut. Dari aspek
linguistik tersebut terlihat bahwa ‘kenyah’ termasuk kedalam grup ‘Apau Kayan’ atau
‘Kayan-Kenyah’. Klasifikasi berdasarkan linguistik yang dikemukakan oleh
Devung (2001) adalah Barito Timur, Barito Mahakam, Apo Duat (Apau Da’a) dan
Rejang-Baram.
Pembagian
Sub-sub Suku Kenyah dan Arti Nama Suku/lepo’
Dari
uraian terdahulu bahwa rumah panjang atau uma’ yang ada di kampung
Apau Da’a berjumlah 40 buah, dimana tiap-tiap rumah panjang diisi oleh kelompok
yang memiliki dialek/bahasa yang sama. Tidak diketahui dengan jelas
bagaimana nama ”kenyah” muncul dari sekitar 40 uma’ yang ada.
Namun diperkirakan bahwa uma’-uma’ yang memiliki dialek yang sama,
merekalah yang masuk dalam sub suku Kenyah.
Bagaimana
sejarah timbulnya nama-nama sub-suku tersebut?
Dari
beberapa narasumber yang diwawancarai maupun dokumen tertulis, nama-nama
sub-suku tersebut dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) versi yaitu:
(1)
Nama berdasarkan letak atau kondisi rumah panjang (umaq) yang ditinggali
masing-masing kelompok, misalnya Uma’ Lasan karena halaman rumah mereka lasan atau
tidak berumput, atau Uma’ Alim karena di depan rumah ada pohon alim (kwini),
dan seterusnya yang akan dijelaskan lebih detail di bagian bawah.
(2)
Nama berdasarkan jenis tumbuhan, akar atau liana yang menjadi ciri
khas pada setiap bekas pondok (belaka lepau) masing-masing kelompok pada saat
mereka menjelajahi hutan untuk berburu dan meramu hasil hutan sebagai pertanda
”otoritas suatu wilayah” agar tidak menimbulkan saling curiga yang dapat
berakibat terjadinya perang saudara. Sebagai contoh, Lepo’ Tukung, biasanya
mengikat aka betukung pada bekas pondok yang
ditinggal. Jika ada kelompok lain melihat tanda ini, mereka mengerti
bahwa bekas pondok (belaka lepau) ini milik Lepo’ Tukung, demikian juga Lepo’
Bakung, dst.
(3)
Nama berdasarkan kebiasaan dan kondisi masing-masing kelompok seperti misalnya
Lepo’ Ke, kelompok ini biasanya telaten meke atau mengikis sampai
sampai halus sesuatu yang dibuat, misalnya kerajinan rotan atau perkakas
kayu. Demikian juga Lepo’ Kuda’, dalam bahasa Kenyah dan bahasa Dayak lainnya
seperti Lundayeh. kudaq berarti ’berapa’. Konon diantara
sub-sub suku Kenyah, anggota kelompok ini relatif kecil sehingga sub-suku lain
sering menanyakan ’berapa’ atau ’kuda’jumlah anggota kelompok ini.
(4)
Nama berdasarkan tempat spesifik dimana kelompok tersebut pernah membuat rumah
untuk menetap sementara waktu, misalnya nama Lepo’ Ma’ut merupakan nama satu
dataran tinggi (apau) yang bernama Apau Ma’ut, dsb.
Secara
harafiah, arti kata ‘Lepo’’ (sebagian peneliti menulisnya leppo’)
adalah ‘kampung’ atau ‘desa’ sedangkan ‘uma’ adalah ‘rumah
panjang’. Namun dalam pemakaiannya untuk menyebutkan nama salah satu
sub-suku Kenyah seperti Lepo’ Tau atau Uma’ Baka, pengertian kedua istilah
tersebut sama saja, tidak ada perbedaannya, keduanya menunjukkan nama salah
satu sub-suku Kenyah. Kata uma’ dipakai pada waktu kelompok tersebut
masih bergabung dengan sub-suku lainnya di kampung Apau Da’a, sedangkan
kata lepo’ mulai dipakai setelah masing-masing uma’ berdiri
sendiri membentuk satu desa atau lepo’.
Namun
dari asal-usulnya, Soriente (2003) menyatakan bahwa kata ‘lepo’dipakai
untuk satu kelompok etnis yang keberadaannya dimulai dari kesatuan atau
gabungan beberapa ‘uma’ atau rumah panjang. Sedangkan etnis yang
namanya memakai nama ‘uma’, keberadaannya dimulai dari hanya satu rumah panjang
(uma’) saja. Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa sub-etnis
yang namanya dimulai dengan kata ‘lepo’memiliki populasi lebih besar
dibandingkan sub-etnis yang memakai kata ‘uma’. Berdasarkan kebiasaan juga, dua
sub-suku tidak memakai kata Lepo’atau Uma’ di depan nama
sub-suku yaitu Bakung dan Badeng. Keduanya dapat saja memakai salah satu
kata tersebut di atas namun tidak digunakan.
Arti
nama masing-masing sub-suku berasal dari keterangan lisan beberapa narasumber,
dan mungkin saja ada pendapat lain dari arti nama sub-suku tersebut sehingga
apa tertulis di sini tidak bersifat mutlak. Beberapa contoh arti nama
sub-suku tersebut antara lain.
(1)
Bakung. Nama ‘bakung’ berasal dari 3 versi. Yang pertama, berasal
dari nama sebuah rawa (bawang) di hulu Sungai Iwan. Rawa Bakung ini
merupakan tempat yang pertama ditinggali suku Bakung setelah memisahkan diri
dengan kelompok atau sub-sub suku lainnya di Apau Daha. Yang kedua, berasal
dari nama akar ’bakung’ yang biasa diikatkan pada bekas pondok (belaka
lepau) kelompok ini, dan yang ketiga dan kemungkinan besar merupakan
asal nama bakung adalah nama Sungai (alo) Bakung di hulu S. Bahau dimana
kelompok ini pernah menetap setelah pindah dari S. Belaga-S. Baram (Malaysia)
dan kemudian ke Sungai Bakung.
(2)
Badeng. Sama seperti “Bakung” yang tidak menggunakan katalepo’ atau uma’
di depan nama sub-sukunya. Belum ada informasi yang dapat dipercaya
mengenai asal-usul nama Badeng.
(3)
Lepo’ Kulit. Pada waktu tinggal dalam satu kelompok besar dengan suku
lainnya di Apau Da’a (Daha) di hulu Sungai Iwan, rumah panjang kelompok ini
terbuat dari kulit kayu, sehingga dinamakan Lepo’ Kulit.
(4)
Lepo’ Maut. Secara harafiah, dalam bahasa Kenyah Lepo’ Ma’ut adalah lawan
kata dari Uma’ Lasan. Di halaman rumah kelompok ini ada lahan tertentu yang
memang dibiarkan ditumbuhi semak yang merupakan sebuah pertanda khusus.
Versi lainnya menurut Lahang dan Njau (1999), nama Lepo’ Ma’ut berasal dari
nama sebuh dataran tinggi dimana kelompok ini pernah menetap sementara waktu
yaitu ’Apau Ma’ut’.
(5)
Lepo’ Tepu. Kelompok ini terkenal dengan kebiasaanya menanam tebu di
sekitar rumahnya sehingga dinamakan Lepo’ Tepu atau rumah yang memiliki banyak
tebu.
(6)
Lepo’ Jalan. Letak rumah kelompok ini berada di muara Sungai Jalan ketika masih
menetap di Apau Da’a. Kata ‘jalan’ dapat juga berasal dari nama sejenis
hewan kecil bernama ‘jalan’ .
(7)
Lepo’ Tau. Menurut seorang tokoh Lepo’ Tau, kata ‘tau’ berasalberaka’ tau,
yaitu sebuah tugu (belawing) kayu setinggi sekitar 2 m yang dibelah empat pada
ujungnya untuk meletakkan telur ayam (padau) kemudian diserut (serbu) yang
dipakai untuk melihat jalannya matahari (tau) untuk menentukan musim yang baik
untuk mulai menugal (lihat juga Liman Lawai, 1999).
(8)
Lepo’ Tukung. Setiap bekas pondok (belaka lepau) kelompok ini
selalu diberi tanda dengan mengikatkan sejenis akar yang disebut aka
betukung, yang kemudian disebut tukung. Jika orang menemukan bekas
pondok di dalam hutan dan pada bekas pondok tersebut terdapat aka betukung,
berarti ini bekas pondok ‘Lepo’ Tukung’ dan daerah itu berada di bawah otoritas
Lepo’ Tukung.
(9)
Lepo’ Nyibun. ‘Nyibun’ dalam bahasa Kenyah berarti ‘jambu biji’.
Sumber yang dapat dipercaya mengenai asal-usul nama lepo’ ini belum ada, namun
menyimak pemberian nama pada kelompok lainnya, ada kemungkinan di sekitar rumah
panjang (uma’) kelompok ini terdapat banyak pohon jambu biji.
(10)
Uma’ Baka. Tidak diketahui dengan pasti asal kata “baka”, namun ada
kemungkinan berasal dari kata “belaka” yaitu bahasa Kenyah yang berarti
“kerangka rumah” atau rumah yang sudah tidak dipakai sehingga tinggal
kerangkanya saja yang tersisa.
(11)
Uma’ Lung. Pengertian nama Uma’ Lung juga ada dua versi seperti nama
sub-suku Kenyah lainnya. Pengertian kata ‘lung’ dalam bahasa Kenyah ada
dua yaitu: ‘muara sungai’ dan yang kedua berasal dari sejenis keladi hutan yang
bernama ‘lung’. Keladi hutan ini biasanya dipakai oleh suku Kenyah
untuk menolak bala atau mengusir roh jahat. Dengan demikian Uma’ Lung
dapat berarti bahwa rumah kelompok ini berada di muara sebuah sungai ketika
berada di hulu Sungai Iwan atau hulu Sungai Bahau. Versi lainnya
mengatakan bahwa ‘belaka lepau’ kelompok ini selalu ditandai dengan adanya
sejenis keladi ‘lung’ yang diikat pada bekas pondok ketika bertualang (san)
di dalam hutan.